CATATAN
KHUSUS
MENAFKAHKAN SEBAGIAN HARTA ATAU
RIZKI
update 02-07-2014
update 02-07-2014
Inilah Al Kitab yang tiada
diragukan, suatu petunjuk bagi mereka yang takwa, mereka yang beriman kepada
yang ghoib, mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepadanya
( AL BAQARAH 2 : 2-3 )
Menafkahkan sebagian harta atau rizki
adalah merupakan proses pemutihan agar harta atau rizki yang kita
terima menjadi suci, bersih, terbebas dari pada hak orang lain
yang terkandung di dalamnya, sesuai dengan ajaran syare’at Islam.
Mengenai pengertian kata sebagian,
di dalam permasalahan ini, besar nominalnya tergantung dari keikhlasan pribadi
masing-masing. Sesungguhnya Allah tidak
pernah menyusahkan umat manusia. Allah hanya ingin menilai hati umat Nya.
Siapa-siapa diantara kita yang sungguh-sungguh beriman, sungguh-sungguh
mencintai Allah dan Rosul Nya, serta siapa-siapa yang lebih mencintai harta
bendanya. Siapa-siapa diantara kita yang lebih berserah diri kepada Allah,
serta siapa-siapa yang lebih memper-Tuhan-kan hawa nafsunya, siapapun yang
melakukan dosa syirik tersembunyi, pasti Allah mengetahui akan segalanya.
Hai orang-orang yang beriman, maukah
kamu Aku tunjukkan semacam perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab
yang amat pedih ??? Perniagaan itu adalah : kamu tetap beriman kepada Allah dan
Rosulnya, serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Iman dan
berjihad itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya ( ASH-SHAFF 61 :
10-11 )
Katakanlah : Sesungguhnya Tuhan-ku
melapangkan rizki bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan
menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang apa saja yang kamu
nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rizki yang sebaik-baiknya
( AS-SABA 34 : 39 )
Bila kita menyadari dan menghayati
Wahyu Islami dengan sepenuh hati, sesungguhnya kita ini tidak memiliki apa-apa,
semuanya adalah milik Allah. Jangankan harta benda, nyawa kita, hidup kita pun
milik Allah. Kita hanya sekedar makhluk
ciptaannya yang harus mengabdi kepada Nya.
Kenapa kita harus kikir kepada Allah, sedangkan Dia menjanjikan akan
menggantinya. Allah tidak akan menyalahi
janji Nya, Dia yang maha taat, Dia yang maha kaya, Dia pemberi rizki yang
sebaik-baiknya. Bila kita kikir maka Tuhan akan mengganti kita dengan kaum yang
lain dan mereka lebih berjaya.
Ingatlah, kamu ini orang-orang yang
diajak untuk menafkahkan hartamu di jalan Allah, maka di antara kamu ada orang
yang kikir, dan siapa yang kikir, sesungguhnya dia kikir terhadap dirinya
sendiri, Allahlah yang Maha Kaya, sedangkan kamulah yang membutuhkan-Nya, dan
jika kamu berpaling ( kikir ), niscaya Allah akan mengganti kamu dengan kaum
yang lain dan mereka tidak akan seperti kamu ( MUHAMMAD 47 : 38 )
Maha benar Tuhan dengan segala
firman Nya. Tidak usah heran bila pada saat sekarang ini Umat Islam “kedodoran”
bila dibandingkan dengan umat lain yang non Islam. Ini adalah bukti yang nyata
atas kebenaran Surat Muhammad 47 : 38.
Karena umat yang non Islam menafkahkan harta, menafkahkan rizki yang di
perolehnya sebesar 10 persen, sedangkan umat Islam hanya dianjurkan 2,5
persen. Hal ini tidak sesuai dengan
ajaran Al Qur’an dan Hadits, oleh karena 2,5 persen tersebut tidak tercantum
dalam Al Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukumnya.
Ketahuilah, sesungguhnya apa yang
kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya 1/5 adalah untuk Allah
dan Rosulnya, untuk kerabat dan anak yatim, orang miskin, orang dalam
perjalanan. Ta’atilah ketentuan itu jika kamu beriman kepada Allah dan apa yang
Kami turunkan kepada hamba Kami di hari pembedaan, di hari bertemu dua pasukan,
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu
( AL ANFAL 8 : 41 )
Menurut Rosulullah : Jihad
Akbar adalah perang melawan hawa nafsu.
Oleh sebab itu, bila umat islam tidak ingin “kedodoran”, tidak ingin jadi umat yang
“kuntet”, tidak ingin ditertawakan,
tidak ingin diganti Allah dengan kaum lain, maka Umat Islam seharusnya menafkahkan
baik harta maupun rizki yang diperoleh dari Allah sekurang-kurangnya adalah 20 persen ( seperlima bagian ) sesuai
Surat Al Anfal 8 : 41.
Hal ini mungkin sebagai dasar acuan
dari salah seorang tokoh agama, yang menganjurkan zakat mal 20 persen …??? Karena sampai kapanpun kita harus terus
berperang melawan hawa nafsu. Dalam hal
ini pemerintah pun seharusnya mengatur serta menyesuaikan antara zakat dan
pajak bagi umat Islam agar tidak terasa memberatkan.
Semoga kita tidak kena laknat Allah,
semoga kita tidak diganti dengan kaum lain. Silahkan atur sendiri, sesuai
dengan ke ihklasan diri masing-masing.
Sesungguhnya perkataan nafkah, Infak, yunfiqun,
shodaqoh, jariyah dan zakat, semuanya itu berkaitan dengan proses pemutihan
baik terhadap harta
maupun terhadap rizki yang kita peroleh.
Kata
nafkah, infaq dan yunfiqun
secara harfiah artinya adalah perintah.
Kata shodaqoh dari kata shidiq secara harfiah artinya adalah benar.
Berarti barang siapa yang
melaksanakan perintah Allah pasti benar.
Kata
jariah arti
harfiahnya adalah mengalir.
Misalnya kita mendapat uang atau
bonus katakanlah hadiah lebaran dari Bos, kemudian kita memberikan sebagian
bonus yang kita peroleh kepada ibu – bapak, kerabat kita, kepada pembantu dsb.
Pembantu pulang kampung, dikampungnya si pembantu inipun menafkahkan sebagian
yang ia peroleh kepada kerabatnya.
Itulah yang disebut mengalir dari atas sampai ke strata yang paling
bawah. Pahalanya pun mengalir pula tanpa
terputus, dari strata yang paling bawah ke strata yang paling atas. Itulah pengertian jariah.
Kata
zakat pengertiannya
adalah : yang memberi menjadi bersih, suci dan yang menerima menjadi
senang. Apa
yang kita berikan tidak harus materi.
Mereka akan bertanya kepadamu
tentang apa-apa yang akan mereka nafkahkan, jawablah : apapun yang kamu
nafkahkan dari harta yang baik, maka utamakanlah kepada kedua ibu bapak, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan
dan apapun kebaikan yang kamu perbuat, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya (
AL BAQARAH 2 : 115 )
Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan Allah dengan apapun, dan berbaktilah kepada kedua orang ibu
bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang dalam perjalanan dan hamba
sahayamu, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membanggakan diri ( AN-NISA 4 : 36 )
Perintah menafkahkan harta dijalan
Allah berdasarkan ajaran Islam, bisa diterima oleh seluruh umat manusia, karena
sangat jelas dan sangat masuk di akal.
Berdasarkan kedua ayat tersebut di
atas : Prioritas pertama ditujukan untuk menyantuni lingkungan dalam keluarga
sendiri, kemudian prioritas selanjutnya ditujukan untuk tetangga dekat dan yang
terakhir adalah untuk tetangga jauh.
Di dalam lingkungan keluarga sendiri
pun ada urutannya, yang pertama dan yang terutama sekali santunan diberikan
kepada kedua orang ibu-bapak (termasuk ibu-bapak mertua), yang kedua kepada
kaum kerabat dekat dan ketiga kepada hamba sahaya dalam hal ini adalah pembantu
rumah tangga kita.
Dengan demikian siapapun orangnya
bila sudah dewasa dan telah berpenghasilan cukup tentu akan lebih rela, akan
lebih ikhlas bila diwajibkan untuk menyantuni lingkungan dalam keluarganya
sendiri dari pada lingkungan keluarga orang lain, apalagi untuk kepentingan
kedua orang tua-nya apapun akan dia berikan, bahkan nyawanya sendiri, kecuali
bagi anak durhaka, yang lupa kacang akan kulitnya.
Berdasarkan beberapa ayat di dalam
Al Qur’an ada 22 golongan (mustahik) yang berhak atas santunan tersebut : 1.
Kedua orang ibu-bapak, 2. Kerabat, 3. Hamba sahaya, 4. Anak-anak yatim (yatim –
piatu), 5. Orang-orang fakir, 6. Orang-orang miskin, 7. Pengurus zakat, 8.
Mualaf, 9. Orang-orang yang berhutang yang disebut Gorimin, 10. Orang-orang
yang dalam perjalanan, 11. untuk memerdekakan budak, 12. Untuk berjihad di
jalan Allah, 13. Untuk Allah, 14. Untuk Rosulullah, 15. Untuk kerabat Rosul,
16. Ibnu Sabil, 17. Untuk mesjid, 18. Tetangga dekat, 19. Tetangga jauh, 20.
Teman sejawat, 21. Fuqoro (Orang-orang yang terusir, tergusur), 22. Yang meminta-minta.
Pelajari Surat-Surat :
AL BAQARAH 2 : 177 & 215, AT-TAUBAH
9 : 18 & 60, AL ANFAL 8 : 41, AN-NISSA 4 : 36, AL HASYR 59 : 7-8..
CATATAN
KHUSUS :
MENGENAI SURAT AL AN’AM 6 : 79
dan 163.
Innii wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas-samaawaati
wal ardha haniifaw-wamaa ana minal musyrikiin
(AL AN’AM 6 : 79) …
Berubah
menjadi : Innii wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas-samaawaati
wal ardha haniifam-muslimaw-wamaa ana minal musyrikiin …
Walaupun
secara harfiyah tidak terlalu mengubah
makna, namun secara prinsip telah merubah naskah asli Al Qur’an.
Laa syariikalahu wa bidzaalika
umirtu wa ana awwalul
muslimin ( AL AN’AM 6 : 163 ). BERUBAH MENJADI : Laa syariikalahu wa bidzaalika
umirtu wa ana minal muslimiin.
Sampai saat ini penulis belum
mengetahui dasar hukum dari perubahan ayat tersebut. Apakah
boleh kita merubah ayat Al Qur’an semau gue…??? Seandainya ada Hadits yang mendasari perubahan
tersebut, namun secara pribadi penulis tetap berpegang pada sumber aslinya,
yaitu Al Qur’an.
Wa ana minal muslimin arti harfiyahnya adalah : Mulai saat
ini aku berserah diri, berarti sebelumnya ( tadi, kemarin ) aku belum muslim.
Wa ana awalul muslimin : Sejak awal aku sudah berserah
diri. Sejak dahulu kala aku sudah berserah diri, sejak aku masih di Alam Arwah. Hal ini sesuai dengan SURAT AL A’RAF 7 : 172 : Bukankah Aku Tuhan-mu ??? Semua Ruh menjawab : benar kami bersaksi
…
Kepada Allah bersujud apa yang ada
di langit dan apa yang ada di bumi
( AN NAHL 16 : 49 ).
Aku menciptakan kamu jauh
sebelumnya, padahal kamu belum lagi berwujud apa-apa ( MARYAM 19 : 9 )
Maka siapakah yang lebih jahat dari
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling dari Pada-Nya ???
Akan Kami beri ganjaran mereka yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan
seburuk-buruknya siksaan
( AL
AN’AM 6 : 157 ).
Bila kita sebagai ustad mengajarkan
hal yang salah… kemudian kesalahan ini
terus berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya… lalu dosanya kita bagaimana…???
Oleh karena itu untuk surat Al An’am
6 : 79 dan terutama Al An’am 6 : 163, secara pribadi penulis tetap berpegang
pada Al Qur’an sebagai sumber aslinya.
Karena penulis khawatir dan tidak ingin mendapat azab yang pedih dari
Allah …
KIBLAT
Merupakan simbol perwujudan dari
kemanunggalan arah yang menuju kepada suatu kemanunggalan pemujaan dan
pengabdian, yaitu kepada Allah semata-mata, sehingga di negara manapun kita
berada, ada keseragaman di dalam tata cara beribadah kepada Allah menurut
syariat Islam.
Dan bagi setiap umat ada kiblatnya (
sendiri ) yang ia menghadap kepada-Nya.
Maka berlomba-lombalah kamu ( dalam berbuat ) kebaikan
( AL BAQARAH 2 : 148 )
Dan dari mana saja kamu keluar, maka
palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram, dan di mana saja kamu ( sekalian )
berada, palingkanlah wajahmu kearahnya
( AL BAQARAH 2 : 150 )
Seandainya masalah kiblat itu belum
di syariatkan, maka sesungguhnya setiap orang boleh saja menganggap seluruh
ciptaan Allah ini sebagai kiblatnya.
Mengapa demikian ??? Oleh karena
Dzat Allah adalah Dzat mutlak tanpa bentuk dan tanpa keterbatasan ruang dan
waktu. Dzat Allah meliputi segala
sesuatu, berarti kita berada dalam Tuhan.
Kemanapun engkau menghadap disanalah Allah. Di dalam dirimu, apakah engkau tidak
memperhatikan ??? Tanda-tanda kami disegenap penjuru dan pada diri mereka. Dzat
Allah bersatu dengan engkau sekalian dimanapun engkau berada. Katakanlah bahwa
AKU dekat. Lebih dekat AKU dari pada urat leher. Tuhan menempatkan diri antara
manusia dengan qolbunya. Barang siapa
mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya. Allah adalah bathinnya manusia
dan manusia adalah kenyataan dari pada Allah. Rahasia kalian adalah rahasia KU.
Di dalam dada ada qolbu, di dalam qolbu ada fuad, di dalam fuad ada sir, di
dalam sir ada Aku.
Alkisah ketika Al Halaj akan dihukum
pancung, salah seorang petugas berkata : Jangan biarkan wajahnya menghadap ke
kiblat. Kemudian Al Halaj berkata : Kemanapun kau hadapkan wajahku disanalah
Allah.
Dengan demikian kita tidak perlu
bersusah payah mencari Tuhan ke tempat yang jauh-jauh, karena dalam Ke-Esa-an
Nya, Dia tidak dimana-mana dan tidak ke mana-mana. Tuhan adalah dekat, bahkan teramat dekat. Di
dalam dirimu …
Aku hadapkan wajahku kepada (Tuhan)
yang menciptakan langit dan bumi.
Secara haqiqi : Hadapkan dirimu
kepada dirimu sendiri, disanalah Allah. Tak ada yang lain. Di dalam dirimu, apakah engkau tidak
memperhatikan. Di dalam sir ada Aku. Aku berada di dalam hati seorang mukmin yang
benar. Barang siapa yang mencari Tuhan
keluar dari dirinya sendiri, maka ia akan tersesat semakin jauh.
Dengan demikian, bila kita
perhatikan dengan seksama, maka akan tampak adanya beberapa pegertian Kiblat : Kiblat Mekah
( ka’bah ), Kiblat diri
( jasad ), Kiblat hati ( qolbi
), Kiblat Haqq ( di dalam sir ada Aku ).
Berdasarkan firman-firman Allah
serta Hadits-Hadits tersebut di atas, maka bila kita tidak melihat dan tidak menyadari adanya unsur-unsur
Ke-Ilahian yang tersembunyi di dalam setiap ciptaan Nya, berarti kita termasuk
kedalam golongan Islam
metaforikal atau Islam
semu, bukan Islam
tulen.
Al
Ghazali mengatakan
bahwa Tauhid murni adalah penglihatan atas Tuhan dalam semua benda. Ada
juga yang mengatakan : Fa inna’l’aarif man yaraul haqq fi kulli syai’in. Seorang arif adalah dia yang melihat Tuhan
dalam semua benda. Dia tidak hanya
melihat Tuhan semua benda (semua makhluk) tapi juga melihat setiap benda (
semua mahluk ) sebagai realitas dari pada Tuhan.
As Syibli berkata : Aku tidak melihat segala sesuatu kecuali
Allah. Sedangkan Muhammad bin Wasi berkata : Aku tidak melihat segala sesuatu tanpa
melihat Allah di dalamnya.
Setelah
Aku sempurnakan kejadiannya, Aku hembuskan Ruh-Ku ke dalamnya. Allahu bathinul insan, al insanu
dzahirullaah. Allah adalah bathinnya manusia dan manusia adalah realitas Allah.
Kemanapun engkau menghadap di sanalah Allah. Di dalam dirimu, apakah engkau
tidak memperhatikan. Di dalam Sir ada Aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar